TIGA PERSOALAN METAFISIKA MENURUT IBN RUSYD DAN AL-GAZALI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEIMANAN

  • Gasim Yamani

Abstract

Pluralitas intelegensi manusia sebagai komunitas sosial, sangat pontensial dalam menciptakan variatif-diferentif pemahaman terhadap suatu objek penelitian yang dikaji. Fenomena intelengensia tersebut, merupakan konsekuensi logis dari sebuah dinamika intelektual yang selalu dinamis dalam proses perkembangannya.

Dunia intelegensia pemahaman dimaksud, adalah dunia para filosof yang senantiasa rasionil. Berbeda dengan dunia iman, sebagai dunianya para fuqaha yang senantiasa agamis. Karena itu, berdasarkan kemampuan intelektualitas tersebut, maka sebagai implikasinya, para filosof dapat mengetahui kebenaran-kebenaran, termasuk, mengetahui adanya Tuhan dengan perantaraan kerja keras dari penalarannya.

Sebaliknya dengan kekuatan iman, para fuqaha dapat mengetahui Tuhan melalui petunjuk Tuhan itu sendiri. Artinya, seorang filosof memiliki kuantitas kerja secara fisik, yang jauh lebih dominan dalam menemukan kebenaran-kebenaran seperti halnya Tuhan, jika dibandingkan dengan seorang fuqaha yang memiliki relatifitas kerja secara fisikal dalam mengetahui sebuah kebenaran

Setelah beberapa tokoh terkemuka saat itu dapat meyakinkan Khalifah al-Mansur tentang kebersihan diri Ibn Rusyd dari fitnahan dan tuduhan tersebut, barulah ia dibebaskan. Akan tetapi tidak lama kemudian fitnahan, tuduhan dan sejenisnya, kembali dilontarkan dan dialamatkan kepada Ibn Rusyd. Maka al-Mansur-pun kembali terpengaruh dan sebagai akibatnya, kali ini Ibn Rusyd diasingkan ke negeri Maghribi (Maroko), dan buku-buku karangannya dibakar dimuka umum (Syarif M.A, 1993). Bahkan buku filsafat tidak boleh dipelajari lagi oleh masyarakat. Sejak saat itu murid-muridnya bubar dan bahkan dilarang menyebut-nyebut nama Ibn Rusyd lagi.

Published
2023-06-16